Aku menunggunya dari balik jendela...
beberapa kali ku
tampakkan wajahku,.. melongo keluar jendela.. mulai menghitung makhluk yang
berterbangan mengitariku.. satu.. dua.. tiga.. ngg,,, e.. mpat. jemariku
menunjuk lagi, kali ini jaraknya sedikit tak terjamah.. lima.. en.. nam...
belum sempat ku lanjutkan... seekor peri.. ah bukan.. jika dia peri lalu kemana
sayap-sayapnya???? seekor mahluk bertubuh mungil itu mendekatiku... "aku
yang ketujuh" ucapnya lantang.. aku masih saja tak memerhatikannya..
"heh, aku yang ketujuh.. hallo"
"lalu siapa kau?" ucapku sedikit geram.. "aku
peri yang datang dari ujung pelangi".. tawaku sedikit tertahan mendengar
ucapannya tadi..
"kenapa?????? rona wajahmu seolah-olah ingin
mengejekku.. dalam otakmu pasti menari nari beberapa pertanyaan kan? bagaimana
bisa seekor peri tak bersayap.. iya kan???" matanya mengerjap-ngerjap
memerah.. "bukan seperti itu.. hanya saja.. dibandingkan seekor peri kau
tampak seperti thumbellina.." peri kecil itu hanya melipat kedua tangannya
sambil menggeleng-gelengkan kepala, nampaknya ia paham benar dengan situasi
seperti ini.. diambil nya dua ranting kecil yang nampak rapuh itu, lalu
dipatahkannya menjadi beberapa bagian dengan menggunakan kedua tangan mungil
itu sembari hilir mudik, persis di depan kedua bola mataku.. ia mengumpat,
menghardik, bahkan sesekali ia menggerutu tajam...
aku mengikuti langkah kakinya. kemudian membuang pandanganku
bebas tak beraturan... "kemana... lama sekali dia.. biasanya urutan
ketujuh..." "apa karena diluar sedang ada badai?? kemudian ia
terperangkap angin dan hujan." ah.. bodoh sekali.. ini musim gugur
gerutuku...
aku masih saja berada pada posisi semula... melipat kedua tangan pada kusen
jendela,kemudian meletakkan dagu tirusku diatasnya yang menopang lemas. ku perhatikan
makhluk kecil itu dengan sedikit enggan, ia hanya setinggi pensil mekanik,
kurang lebih seperti itu. sedari tadi ia nampak sibuk sendiri, mengotak atik
sebuah patahan ranting yang sedang ia genggam, diayunkannya ranting itu laksana
tongkat sihir sambil berkomat kamit dengan bahasa yang tak aku pahami. Sesekali
ia menggeleng-gelengkan kepala, serasa menahan kecewa, diulanginya hal itu
terus menerus, kemudian dipindahkan jemari lentiknya itu ke arah kantong baju
yang terbuat dari beberapa helai kelopak mawar. Air mukanya nampak sedikit
kesal, berulang kali ia berdesis, menarik nafas yang amat panjag, dengan
disertai gerakan kedua bahu bidang itu beriringan.
Aku menghembuskan nafas sedikit kencang kearahnya, hal itu
membuatnya maju beberapa langkah dari posisinya semula, rupanya angiin yang
sengaja aku ciptakan membuatnya hampir tersungkur mendarat ke luar jendela. Ia
menatapku ganas dengan kedua lengan kecil itu berlipat di pinggang, “kau
sengaja ingin membunuhku heh!!!”
Aku memasang wajah sepolos-polosnya, seolah tak terjadi
apapun. “mmmm.. tii..tidak, aku tak berniat seburuk itu.. kau kan seekor peri,
harusnya tidak akan terjadi masalah besar bagimu jika jatuh dari ketinggian
yang kurang dari satu meter ini.”
Ia meruncingkan pandangannya ke arahku, nampaknya otak
kecilku mampu membacanya.. “oke..oke... “ ucapku seraya mengangkat kedua
telapak tanganku.
“aku....kehilangan kekuatanku....” Ia merintih.. “itu
mengapa aku tak mampu terbang....”
secepat kilat raut wajahnya kembali masam.. dengan berkacak
pinggang ia mengerang padaku.
“lalu kau, kenapa kau ada disini?”
“aku... entahlah.. seingatku ketika aku tertidur.. ada seekor peri menuntunku
kemari, katanya aku akan bisa kembali setelah mengembalikan semua benda yang ku
curi.”
Peri kecil itu tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepukkan kedua jemarinya ke arah
lantai bahkan hingga ia terperangah jatuh. Ia masih saja tertawa membahana,
sembari memegang perutnya seolah mengisyaratkan untuk berhenti pada otak kecilnya itu. Ia menarik nafas
dalam-dalam.. “oke..okee.. fegusha, berhenti!” ia mengencangkan pelukan
tubuhnya dan melanjutkan kata-katanya yang keluar secara tak sempurna.
“p-e-n-c-u-r-i...” kembali lagi-lagi ia berguling-guling dibatasan lantai
jendela, menepuk-nepukkan genggaman tangan kecilnya...
Aku melotot ke arahnya, serasa kedua bola mataku ingin
melompat keluar... “AKU BUKAN PENCURI !!! MENGERTI !!!!” “aku bahkan tak tahu
apa yang telah aku ambil.. peri bodoh itu menuduhku atas apa yang tak pernah
aku lakukan..”
Kemudian aku merogoh tas pinggangku, ku masukkan tanganku
kedalamnya, hingga ruas-ruas jariku menyentuh sebuah kotak..
“apa ini yang dimaksud.....???”
Ia mendekat, memicingkan matanya yang bulat besar ke arah
kotak yang beribu kali lebih besar dari ukuran tubuhnya itu, kemudian melompat
dan bergerak dengan cepatnya.. hingga posisinya kini ada tepat di atas
bahuku... ia berbisik ke arah telingaku... “cepat buka....” seolah menuruti
perintahnya aku membuka kotak itu..
“................”
“waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaw... bubuk musim
semi...” timpalnya kagum.
Aku menerawang... pikiranku terperangah heran, cahaya keemassan
nampak menari liar menyeruak ke dinding dinding tepian jendela..
berkilaaaauu... tanganku masih mengaduk - ngaduk isi kotak itu, ku temukan tiga
botol seukuran lima senti yang berjejer berurutan..
“sebenarnya aku ada dimana?” aku berbisik...
“fairy magic hollow” “batasan antara dunia mimpi dan khayal” sambungnya..
“lalu.. kenapa bisa sejauh ini ???”
ia mengangkat kedua bahunya, seolah mengisyaratkan ketidak tahuannya atas
pertanyaanku.. “bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu telah
mengambil sesuatu dari sini??”
“sudah ku bilang.. aku tak mengambil apapun.. TIDAK
MENGAMBIL APAPUN !!” bantahku geram.. dan itu membuatnya terjatuh dari
pundakku, lalu mendarat tepat di atas kotak yang telah ku tutup tadi,
cepat-cepat ia bangkit dan menatap ke arahku dengan mimik penasaran..
“lalu bagaimana bisa semua benda ini ada ditanganmu?”
ucapnya sambil menghentakkan kaki kanannya
“sudah ku katakan... AKU SAMA SEKALI TIDAK TAHU..” ucapku
membelalak. “ia hanya mengatakan padaku untuk menemukan peri ketujuh.. ia
membawa fairy dust.. dan seorang peri penjaga.. namun.. ia tiba-tiba
menghilang, dan aku terdampar disini.. hampir tiga hari..”
“hmmm.. semua peri mempunyai fairy dust.. dan peri penjaga?? Masing-masing peri
mempunyai tugas untuk menjaga sesuatu.. masih sulit.” Ia bergerak maju mundur
sembari memegang dagu dengan ujung ibu jari dan jari telunjuknya.. “apakah yang
dimaksud water fairies ataukah dryart si peri hutan? Ia kadang menjadi yang
tercepat.” Ia meneruskan
“.......................” kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
“ahaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.” Ia mengagetkanku sembari
meletikkan ibu jari dan jari tengah ia berkata: “yang kau butuhkan hanya
mengembalikan semua ini bukan?? Baiklah akan kita mulai.”
Aku menatapnya heran, ia bergerak-gerak seperti ada yang
menggelitik, dirogohnya kantong baju berkelopak bunga itu dalam-dalam, dan
sebotol penuh fairy dust berada dalam genggamannya.
“iini dia..” si peri mungil itu mendekatkan telapak
tangannya persis ke depan hidungku. “sedikit keajaiban.”
“untuk apa? Tugasku disini hanya menunggu hingga si peri ketujuh datang.”
Ia memukul kepalaku dengan patahan ranting..”bodoh, musim
gugur akan segera berakhir.. akan sulit melakukannya jika musim dingin tiba..
kau akan sulit menemukan peri-peri yang lain.. hanya peri salju atau peri musim
dingin saja yang bisa kau temukan.”
Aku masih bertanya dalam kebingunganku.. ia nampaknya
mengerti kemudian mencoba memberikanku penjelasan lebih dalam tentang hal ini.
“kau harus ku ubah menjadi seukuran tubuhku, jika kau tetap berada pada sosok
manusia itu akan menjadi sangat sulit, kau tak akan mampu menembus fairy magic
hollow. Apa kau mau selamanya terjerembab dalam dunia ini? Dan tak kan pernah
bisa kembali ke duniamu disana, jika kau tak bisa mengembalikan semuanya?”
ucapnya menggodaku “bagaimana? Maukah kau menerima tawaranku?”
Aku mengangguk pelan.. tanpa banyak basa basi dibukanya
botol kecil bercahaya itu, kemudian diletakkannya di atas telapak tangannya,
penuh kilauan cantik yang menari nari tertiup angin, kemudian diucapkannya
beberapa mantera, lalu diarahkanya ke arah wajahku dan wuuuuuuuuuuuusss
seketika tubuhku terasa ringan amat sangat ringan hingga rasanya angin mampu
membawaku jauh terbang tinggi.
Kini aku seukuran dia, hanya beberapa
centimeter, jendela tempatku bersandar tadi rasanya ribuan kali lebih besar, ku
palingkan wajahku kearah dinding, kali ini aku mampu melihat semut yang berbaris
dengan jelas, antena mereka dan bentuk tubuh mereka, tinggi sekali tempat ini
pikirku.
“bagaimana rasanya menjadi seorang thumbellina?” ia tertawa geli. Aku hanya
mampu memicingkan kedua bola mataku.
“oke..oke.. waktunya memake-over dirimu. Kau tak mungkin berkeliaran dengan
pakaian manusia seperti ini.” Dengan sekejap ia melompat lompat dengan amat
cepatnya, melewati rerumputan dibalik jendela, aku melihatnya berdiri di atas
bunga lily putih, melewatinya dan kemudian menghilang dari padanganku beberapa
saat..
“ini dia..” dibawanya beberapa kelopak bunga daffodil kuning, lalu
menyatukannya sehingga meyerupai sehelai gaun cantik, kemudian ia
menyodorkannya ke arahku “kenakanlah..”
aku masih teperangah heran, ribuan pertanyaan kali ini berkecamuk, peri tengil
ini kenapa bisa tiba-tiba ingin membantuku.. aku masuk ke balik tirai jendela,
beberapa saat kemudian aku keluar dengan balutan kelopak daffodil indah ini.
“awesome.. sudah ku duga kau akan nampak cantik jika memakainya.”
“terimakasih... tapi maaf.. kenapa tiba-tiba kau ingin
menolongku?”
“ahahahhaaha, m-e-n-o-l-o-n-g-m-u ?? ahahhaa kau salah besar, haruskah aku
menjelaskan apa yang ada dalam isi kepalaku??” “aah sudahlah, aku akan
membantumu hingga kau bisa mengembalikan semuanya ketempat semula.” Ia merogoh
kantong kelopak bunga mawarnya lagi. Sebuah liontin bening berbentuk setetes
air itu dia keluarkan dari saku bajunya. “ini kenakanlah.” Ia melanjutkan
Aku mengalungkan liontin itu dalam lingkarang leher
jenjangku.
“aku Ree Aster..”
“fegusha..” ia menyambut uluran tanganku “kenapa tidak dari tadi kau
mengatakannya.. pasti akan ku berikan kau kelopak aster.” Gerutunya. “
“tak masalah, bukankah katamu aku terlihat manis mengenakan gaun ini?” ucapku
sambil mengikuti langkah kakinya bergerak menjauhi pondasai jendela.
“oiya aku melupakan sesuatu.” Serunya sambil berpaling ke
arahku “liontin itu, adalah garis waktu, semakin lama water fairy itu akan
habis, dan liontin itu akan kosong, jika ia kosong sebelum kau menyelesaikan
tugasmu mengembalikan bubuk musim semi pada tempatnya, maka kau akan mati.”
Suaranya memecah keheningan.
Aku tersontak kaget, ku remas liontin air itu kencang,
memutar mutarnya dan sesekali menghempaskannya ke dadaku. “mengapa tidak bilang
dari awal fegusha..”
“apa? Kenapa? Kau takut? Hahaha percuma aku lupa, jika aku tidak lupa tadi pun
tak akan aku katakan.” Melihat ekspresiku yang seolah pucat pasi, kemudian ia
melanjutkan “ah sudahlah, ini bukan saatnya berdebat, kita harus sama-sama
berjuang, lagipula aku telah memberikanmu seperempat dari fairy dustku, itu
artinya aku telah kehilangan seperempat nyawaku juga kan?”
Fegusha berjalan meninggalkanku... kemudian menghilang di
balik semak-semak......
“fegushaaaa... tungguuuuuu......”
Begitulah awalku mengenalnya, seorang peri yang tak bersayap
dan tak mampu terbang, seorang peri yang menyebalkan dan membuatku ingin
meremas-remas kedua pipinya setiap kali aku bertemu dengannya, seorang peri
yang membuat seluruh otakku berpikir keras untuk menemukan jawaban mengapa dan
kenapa.. lalu aku akan di bawa kemana? Seperti apa kehidupanku kelak..
bebaskah? Tertahan disini? Ataukah mati? ....